Pertanyaan tersebut sangat sering ditanyakan kepada saya baik di tempat praktik maupun saat bertugas di rumah sakit. Terus terang saya sering kebingungan bagaimana memberi jawaban dan tips yang benar-benar lengkap di saat saya tidak punya banyak waktu karena saya harus melayani begitu banyak pasien yang lain.

Masalah susah hamil ini bukanlah masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan gampang. Saya harus memberikan banyak tips secara lengkap agar semuanya jelas. Bila waktunya singkat seperti di tempat praktik atau rumah sakit, saya kesulitan memberikan penjelasan yang lengkap.

Dari kendala inilah timbul ide saya untuk menulis sebuah buku yang mengupas tuntas tentang masalah ketidaksuburan ini. Dengan merangkum semua informasi dan tips dalam satu buku, pasien-pasien saya bisa lebih mengerti apa-apa saja yang sebaiknya dilakukan agar bisa segera hamil. Walaupun kesibukan saya cukup padat, saya mulai menyempatkan diri untuk menulis buku ini di awal tahun 2011.

Pada bulan Agustus 2011, buku Panduan Lengkap Cara Cepat Hamil ini resmi diterbitkan oleh penerbitan online Digi Pustaka dan hingga saat ini sudah naik cetak sebanyak 10 kali. Sejak buku saya diterbitkan, saya telah menolong RIBUAN pasangan suami istri di seluruh Indonesia dan bahkan pasangan suami istri asal Indonesia yang bermukim di Australia, Malaysia, Singapura dan Hong Kong.

Syukur alhamdulillah sudah banyak sekali Ibu yang berhasil hamil setelah membaca dan mengikuti semua petunjuk dari buku saya. Beberapa ibu bahkan berkenan untuk berbagi kisah sukses hamilnya di sini. Saya sangat bersyukur atas keberhasilan mereka dan berterima kasih atas dukungan yang diberikan kepada saya.

cara cepat hamil

Cara Cepat Hamil

Jumat, 04 April 2014

Perceraian Berakibat Buruk bagi Kesehatan Pria


Ilustrasi

Perceraian ternyata tak hanya berefek buruk bagi kesehatan mental dan emosi, tapi juga fisik seseorang. Kondisi ini tidak cuma rentan dialami wanita, tapi juga pria.


Sebuah riset di Amerika mengatakan, pria yang hidup single atau mengalami perceraian, berpeluang 39 persen lebih tinggi mengalami kematian dini. Angka ini dibandingkan dengan pria yang ada dalam ikatan pernikahan.

Kondisi ini mungkin disebabkan pria yang hidup single lebih berpeluang menjalankan gaya hidup atau perilaku seks berisiko. Perilaku ini lambat laun mengancam kesehatan fisik dan mentalnya.
 
Sebuah studi kasus oleh Dr. Daniel Felix dari University of Nebraska dan dimuat dalam Journal of Men's Health mengungkapkan pentingnya para dokter untuk mengenali problem kesehatan kaum pria yang dipicu oleh perceraian.

Riset ini merupakan kajian terhadap kasus yang dialami seorang responden pria berkulit putih usia 45 tahun yang bertahan dari perceraian.

Setelah perceraian, pria ini mengunjungi dokter keluarga setelah 10 tahun tidak memeriksakan diri. Ia datang dengan keluhan pola tidur buruk, dan masalah perut yang tidak kunjung tuntas. Pria ini juga melaporkan keranjingan minum bir dan mulai membenci pekerjaannya. Sebagai karyawan level menengah di sebuah bank lokal, pria ini mulai terganggu dengan atasan dan teman-temannya.

Sehubungan dengan perceraian yang dialami, pria ini juga melaporkan keterbatasan akses yang dialami dalam menemui anak-anaknya. Padahal, ia  sangat membutuhkan dukungan anak-anaknya. Pria ini juga mengeluhkan mantan istrinya yang seolah menjauhkan ia dari semua teman-teman yang dimiliki saat masih menjadi pasangan.

Peneliti melaporkan, kondisi fisik pria ini tampak biasa saja meski pun ia mengalami sedikit pembengkakan pada liver dan tubuhnya yang kegemukan.  Namun sebaliknya, peneliti mengaitkan kondisi penyakit yang dialami pria ini dengan gejala depresi yang berlanjut dengan kecemasan dan stres akibat perceraian.

Peneliti menyarankan para dokter untuk melakukan pengobatan pada gejala-gejala psikologis akibat perceraian, dan bukannya merekomendasikan perbaikan nutrisi, olahraga, dan pola tidur. Para pria korban perceraian juga wajib mengikuti program terapi kecanduan alkohol dan zat terlarang. Selain itu, mereka juga harus mendapat rujukan dari tenaga medis untuk berobat para konselor, profesional kesehatan jiwa, atau kelompok dukungan perceraian.

Peneliti menyarankan perlunya penelitian lebih lanjut guna melihat dampak perceraian bagi kesehatan pria. Professor Ridwan Shabsigh dari Cornell University, Amerika Serikat mengatakan, temuan ini menjadi dasar penyusunan diagnosa dan panduan terapi kesehatan bagi para pria korban perceraian.

Riset ini sekaligus membuka sisi lain pria, yang sering dikesankan sebagai sosok kuat, tabah, dan lebih kebal pada trauma dibanding wanita.

"Faktanya, pria sangat terpengaruh dengan trauma psikologis dan peristiwa buruk dalam kehidupan seperti perceraian, kebangkrutan, perang, dan kematian. Penelitian segera sangat dibutuhkan untuk menyelidiki prevelensi dan dampak perceraian bagi kesehatan pria," kata Shabsigh yang juga Presiden International Society of Men's Health.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar